Baleg Minta Masukan Akademisi Terkait RUU Perjanjian Internasional
Badan Legislasi (Baleg) DPR RI meminta masukan akademisi terkait dengan Perubahan Undang-undang Nomor 24 Tahun 2000 tentang Perjanjian Internasional. RUU ini termasuk dalam Program Legislasi Nasional (Prolegnas) RUU Prioritas 2011 yang harus segera dibahas dan merupakan usul inisiatif DPR.
Pada kesempatan kali ini, Rabu (12/10) Baleg mengundang akademisi Fakultas Hukum Universitas Indonesia yang juga mantan Duta Besar RI untuk Portugal Harry P. Haryono. Baleg juga mengundang dua akademisi lainnya Laode M. Syarief dan Yuda Bhakti namun keduanya berhalangan hadir.
Dalam rapat yang dipimpin Wakil Ketua Baleg Sunardi Ayub, dia mengatakan sebelumnya Baleg juga telah mengundang Guru Besar Hukum Internasional Universitas Padjadjaran Etty R. Agoes dan Alex Jamadu.
Menurut Sunardi, semakin banyak masukan-masukan yang diberikan para akademisi akan lebih menyempurnakan draft RUU dimaksud.
Sunardi menambahkan, UU No. 24 Tahun 2000 memang perlu segera dilakukan perubahan karena perlu disesuaikan dengan kebutuhan hukum dalam masyarakat. UUD 1945 juga mengamanatkan perlu dibangun hubungan dan kerjasama internasional yang baik dan efektif dalam suatu perjanjian internasional.
Dalam memberikan masukannya Harry P. Haryono yang juga mantan Ketua Penyusunan UU No. 24/2000 tentang Perjanjian Internasional memberikan point-point penting terkait dengan perubahan UU dimaksud.
Diantara beberapa catatan penting yang diberikan adalah definisi perjanjian internasional. Menurutnya, definisi yang telah diatur dalam UU No. 24 tahun 2000 sudah memadai dan tidak perlu dilakukan perubahan.
Harry juga memberikan catatan tentang kontrak antara Pemerintah RI dengan Freeport dan Newmont. Menurut Harry, kontrak ke dua perusahaan tersebut bukan perjanjian internasional yang diatur oleh UU No. 24/2000 karena merupakan perjanjian yang merupakan hukum perdata internasional, sedangkan yang diatur UU No. 24/2000 adalah perjanjian internasional yang merupakan hukum internasional publik.
“Saya tidak memandang perlu bahwa kontrak-kontrak di bidang perdagangan dan pengelolaan sumber daya alam harus disahkan dengan UU karena bukan perjanjian internasional yang diatur oleh UU 24/2000 karena merupakan kontrak-kontrak hukum perdata yang melibatkan pihak asing,” kata nya.
Harry juga mengatakan bahwa perjanjian internasional tidak perlu melibatkan DPR dalam pembuatannya. DPR hanya diperlukan persetujuannya jika RI memutuskan untuk menjadi pihak perjanjian internasional tersebut.
Terhadap dimasukkannya partisipasi masyarakat, dalam hal ini Harry berpandangan partisipasi masyarakat tidak diperlukan dalam pembuatan perjanjian internasional, karena merupakan tugas dari Pemerintah baik pusat maupun daerah.
Menurut Harry, masyarakat dapat mengajukan pendapat melalui DPR atau menyampaikan langsung kepada Kementerian Luar Negeri. Namun perlu diingat bahwa fungsi Direktur Jenderal Hukum dan Perjanjian Internasional adalah “The legal adviser of the Indonesian Government” baik pusat maupun daerah. Sehingga akan memberikan saran terbaik dalam pembuatan perjanjian internasional agar tidak merugikan kepentingan nasional. (tt)foto:ry/parle